Opini

FOMO Demokrasi; Keramaian Tanpa Makna?

FOMO Demokrasi; Keramaian Tanpa Makna?

Oleh: Akhmad Ilman Nafia, M.PDI

(Ketua Divisi Parmas, SOSDIKLIH, dan SDM)

Dalam era digital dan media sosial, istilah FOMO (Fear of Missing Out) menjadi bagian dari gaya hidup generasi muda. Gejala FOMO muncul sebagai akibat dari akses informasi yang cepat dan mudah  dari berbagai platform media sosial sekarang dan memunculkan kekhawatiran tertinggal dari tren populer. Kini, konsep tersebut juga merambah ke dalam konteks politik dan demokrasi, khususnya saat pemilu atau isu-isu kebangsaan mencuat ke publik. Istilah 'FOMO Demokrasi' memerikan kecenderungan masyarakat berpartisipasi dalam proses demokrasi karena takut dianggap apolitis, tidak peduli, ra ngumumi (istilah jawa) bukan karena kesadaran politik sejati.

Fenomena ini mendorong pertanyaan:

Apakah FOMO demokrasi  berdampak positif atau justru berbahaya bagi kualitas demokrasi kita?

Perkembangan media sosial menjadikan politik sebagai bagian dari tren yang dibicarakan dan dibagikan, bahkan dijadikan konten viral. Perkembanganya, sebagian masyarakat menentukan pilihan kepada calon tertentu bukan karena pemahaman ideologis, tetapi karena "tekanan sosial" atau citra digital yang dilihatnya dari kotak kecil beberapa inchi saja (gadget),  Fenomena ini seperti partisipasi semu, karena sangat partisipatif secara kuantitas namun minim secara substansial.

Demokrasi pun seolah olah terjebak dalam viralitas dan simbolisme digital seperti perang tagar, dance challenge, velocity dan sering tidak disertai dengan pendidikan politik yang baik, pemilih digiring pada tren digital yang kurang substansial.

FOMO Demokrasi menciptakan ilusi partisipasi. Masyarakat merasa telah berkontribusi cukup hanya dengan mengikuti kampanye digital. Bahkan, ada yang hanya ikut tren tanpa memahami isu yang diperjuangkan. Kondisi ini diperparah oleh polarisasi media sosial yang mendorong sikap fanatik (Pro dan Kontra) terhadap kelompok politik tertentu dan menutup ruang dialog.

Jika hal ini terus terjadi, demokrasi yang seharusnya rasional dan deliberatif berubah menjadi pertarungan opini yang dangkal dan emosional.

Namun, menurut saya tidak semua hal dari FOMO Demokrasi bersifat negatif. Dalam banyak kasus, fenomena ini justru membuka ruang keterlibatan awal khusunya Gen Z, Banyak generasi muda yang awalnya hanya ikut tren akhirnya mulai belajar isu-isu politik dan menjadi lebih aktif secara sadar, sehingga mereka menciptakan banyak komunitas digital untuk meningkatkan kesadaran demokrasi generasi muda, membahas secara baik tentang isu isu  Politik dan Demokrasi yang berkembang,  Media sosial dan tren politik digital dapat menjadi alat edukasi politik yang efektif dan efisien jika diarahkan dengan benar.

Penyelenggara Pemilu, Pemerintah, media, dan lembaga pendidikan harus mampu membimbing masyarakat menuju demokrasi yang berbasis literasi, bukan euforia digital semata.

FOMO Demokrasi mencerminkan perubahan dinamika partisipasi politik di era digital. Ia menghadirkan potensi partisipasi luas namun juga risiko keterlibatan semu. Jika tidak dikawal dengan pendidikan politik yang memadai, demokrasi kita bisa terjebak dalam keramaian tanpa makna.

Demokrasi sejati lahir dari kesadaran, bukan ketakutan tertinggal. Dari sekadar ikut-ikutan, kita perlu bergeser menjadi warga negara yang sadar dan aktif memahami dan mempertanggungjawabkan pilihannya.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 443 kali